Awal April 2016 lalu,
sebuah harian di Jepang memberitakan, Hirotada Ototake siap mengikuti pemilihan
anggota parlemen Jepang dari Partai Demokrat-Liberal yang berkuasa saat ini di
Jepang.
Bila terpilih, Ototake menjadi penyandang disabilitas
pertama yang jadi anggota parlemen Jepang.
Ototake memang penyandang
disabilitas. Lelaki kelahiran Shinjuku, Tokyo, Jepang, pada 6 April 1976
itu, sejak lahir mengidap Tetra Amelia Syndrome, yakni kelainan bawaan yang
langka yang membuat pengidapnya tak mempunyai lengan dan kaki.
Walaupun begitu, secara kapabilitas, Ototake sangat
pantas masuk jadi anggota parlemen. Dalam 15 tahun terakhir ini, Ototake sukses
mengukir prestasi sebagai penyiar televisi, wartawan olahraga, penulis
buku, dan motivator.
Tahun 1998 lalu, ia menulis buku autobigrafi yang
menceritakan tentang bagaimana perjalanan hidupnya yang tanpa lengan dan kaki
mampu menjalani kehidupan normal, menjalani pendidikan di sekolah-sekolah
favorit dan lantas meniti karir hingga berhasil.
Buku yang ia beri judul Gotai Fumanzoku itu sudah diterjemahkan dalam berbagai
bahasa dengan judul No One's Perfect. Di Jepang, buku ini menjadi best seller dengan angka penjualan lebih dari
4.500.000 kopi.
Ungkapan yang angat menarik dan inspiratif dalam buku
itu adalah kaliman “Anda tak perlu lahir normal untuk memperoleh kebahagiaan!”.
Ia juga secara gamblang dan tegas mengakui, semua keberhasilannya di tengah
kecacatannya itu bisa terjadi karena peran kedua orang tuanya.
Di buku itu diceritakan, bagaimana kedua orang tua
Ototake menerima kehadiran anaknya yang tanpa lengan dan kaki. Saat ibunya
pertama kali melihat bayinya, kalimat yang pertama kali keluar dari
bibirnya adalah, “Dia sangat tampan!”. Rasa gembiranya jauh lebih
besar daripada rasa terkejutnya lantaran bayinya tidak memiliki tangan
dan kaki.
Saat dewasa, Ototake berpikir, keberhasilan
ibunya mengatasi perasaannya sewaktu pertama kali melihat dirinya saat
lahir adalah sesuatu yang sangat berarti. Hal ini jelas mempengaruhi hubungan
antara ibu dan anak itu.
Cara ibunya mendidik pun istimewa. Meski dia sadar
anaknya adalah seorang anak yang cacat, dia tidak lantas memanjakannya,
menemani kemana saja dia pergi, memenuhi segala keinginannya. Tapi, sang ibu
melatih jiwa kemandirian tertanam dalam diri putranya. Sebagai contoh, ketika
saat remaja Ototake meminta izin berlibur dengan teman-temannya, dia khawatir
ibunya tak akan memberinya izin melihat kondisi cacat pada tubuhnya. Ternyata
tidak, dengan penuh rasa percaya, ibu mengizinkannya pergi.
Sejak Ototake kecil, ibunya sangat peduli dengan
pendidikannya. Setiap malam, dia selalu membacakan cerita untuk Ototake.
Ayahnya, yang seorang arsitek, kerap menunjukkan gambar-gambar pada Oto.
Keduanya tak ingin anaknya terbaring seumur hidup di ranjang. “Ia harus menjadi
orang yang kuat, tidak lari dari kesulitan, dan tidak memakai kecacatannya
sebagai alasan,” tegas sang ayah suatu hari.
Ayah ibunya pun berjuang keras agar Ototake bisa bersekolah di sekolah umum layaknya anak-anak yang lain. Ayah ibunya telah melakukan pendekatan yang benar pada anaknya, yakni dengan memberinya kepercayaan. Orang tua Ototake tidak membesarkan anaknya dengan tatapan kasihan, dan tidak menganggapnya sebagai anak malang. Namun mereka mendidik Ototake dengan penuh optimis bahwa ia akan menjadi orang hebat.
Ayah ibunya pun berjuang keras agar Ototake bisa bersekolah di sekolah umum layaknya anak-anak yang lain. Ayah ibunya telah melakukan pendekatan yang benar pada anaknya, yakni dengan memberinya kepercayaan. Orang tua Ototake tidak membesarkan anaknya dengan tatapan kasihan, dan tidak menganggapnya sebagai anak malang. Namun mereka mendidik Ototake dengan penuh optimis bahwa ia akan menjadi orang hebat.
Sekedar tahu saja, Oto menulis dengan menjepit pensil
dengan lengan dan pipinya. Ia makan memakai sendok dan garpu, menggunting
kertas dengan menggigit satu gagang gunting.
Dengan model pendidikan di keluarga seperti itu,
Ototake bersemangat menghadapi hidup. Kehadirannya juga diterima dengan
sangat baik di lingkungan sekolahnya. Sejak dari kecil kehadirannya menjadikan
motivasi untuk teman- temannya untuk terus berbuat baik. Teman- temannya juga
tidak memanjakannya.
Ototake terus berjuang menjalani kehidupannya, menganggap
dirinya sama dengan manusia yang terlahir lengkap dengan tangan dan kaki, dia
didukung oleh orang- orang yang begitu diberkati, karena memberinya kesempatan
untuk menunjukkan dia pun mampu.
Ketika bersekolah di SD, perlakuan yang sama juga diperoleh Ototake dari seorang gurunya, yaitu Sensei Takagi. Guru itu berpikir bahwa suatu saat akan ada waktu dimana tak ada orang yang menolong Ototake.
Ketika bersekolah di SD, perlakuan yang sama juga diperoleh Ototake dari seorang gurunya, yaitu Sensei Takagi. Guru itu berpikir bahwa suatu saat akan ada waktu dimana tak ada orang yang menolong Ototake.
Selama dididik oleh Sensei Takagi, banyak peraturan
yang dibuat untuk membuat Oto menjadi semakin mandiri dan merasa sebagai anak
normal. Misalnya, di kelas ia tidak boleh memakai kursi roda tanpa seijin
Sensei Takagi. Hal ini dilakukan agar Oto dapat menggerakkan otot-ototnya yang
sedang dalam masa petumbuhan. Selama enam tahun sekolah di sekolah dasar umum,
Oto mendapatkan lingkungan yang selalu memberikan dorongan kepadanya. Yanuar Jatnika
Komentar
Posting Komentar