Langsung ke konten utama

Ursula Burns: Kekuatan Cinta Sang Ibu



INI merupakan kisah inspiratif soal kekuatan cinta yang membuat seorang wanita keturunan  Afrika, dari keluarga miskin di lingkungan kumuh di New York, Amerika Serikat,  berhasil menduduki jabatan tertinggi sebuah perusahaan kelas dunia.

Ursula Burns, Chief Executive Officer (CEO), Xerox Corporation, sebuah perusahaan penyedia layanan proses bisnis dan pengelolaan dokumen perusahaan besar di dunia, mengakui, perjalanan hidupnya sehingga mencapai posisi yang didambakan banyak karyawan, merupakan hasil dari cinta yang diberikan ibunya sejak kecil hingga dewasa.

Sejak kecil, ia diasuh oleh ibunya yang menjadi orang tua tunggal, di sebuah kawasan kumuh Lower East Side, Manhattan, New York. Olga, sang ibu mengawasi ketiga anaknya sambil bekerja mengasuh anak titipan dan menyeterika pakaian tetangga.

Olga selalu mendorong anak-anaknya untuk menjadi orang yang selalu belajar, menjadi orang baik, dan meraih kesuksesan. Ia ingin Burns dan saudara-saudaranya untuk selalu membuktikan kemampuan diri, tak peduli dari mana asal dan keturunan. Dengan seutas senyum yang terus mengembang itu, ibunya tidak menunjukan kelelahan akan pekerjaanya.

Lewat ibunya, Burns belajar tentang arti hidup yang diajarkan oleh ibunya. Ia menemukan kasih sayang dan ketulusan dari ibunnya yang sangat berdikari. Saat itu pun ia menyadari bahwa  kehidupan ibunya merupakan kisah inspiratif cinta yang  takkan tebalas.

Berkat cinta, motivasi, dan dorongan ibunya itulah, Burns menjadi bintang pelajar saat sekolah di tingkat SMA pada tahun 1960-an. Masuk perguruan tinggi, Burns memutuskan untuk berkuliah di Polytechnic Institute of New York. Talentanya menarik perhatian Xerox, sehingga perusahaan itu membantu biaya kuliah Burns bahkan mempekerjakannya setelah ia menuntaskan kuliahnya. Bagi Burns, semua dianggap sebagai hasil doa seorang ibu bagi anaknya.

Di Xerox, Burns sangat menonjol. Sehingga perkembangan kariernya begitu pesat. Hingga pada akhirnya ia dipercaya memegang tampuk kepemimpinan sebagai seorang CEO pada 21 Mei 2009. Burns mampu menjadi tonggak sejarah. Ia berhasil menobatkan dirinya sebagai perempuan kulit hitam pertama yang menduduki posisi CEO di Xerox, yang merupakan perusahaan Fortune 500 ranking ke 131 pada tahun 2013 kemarin.

Sesaat setelah menjadi CEO, Burns membuat gebrakan. Selama sebulan penuh, wanita kelahiran 20 September 1958 itu berkeliling Eropa menemui para eksekutif kunci yang menyumbang 50 persen lebih penjualan Xerox sebagai strategi untuk merebut kembali hati pelanggan.

Kebijakannya yang paling berpengaruh adalah mengubah strategi pemasaran. Di bawah kepemimpinannya, Xerox yang tadinya hanya menjual printer dan mesin fotokopi juga masuk pada ranah bisnis jasa. Salah satunya, ia melakukan akuisisi senilai US$ 6,4 miliar (Rp 57,6 triliun) terhadap ACS (Affiliated Computer Services) yang spesialis alih daya pekerjaan back-office. Hal itu memungkinkan Xerox tak hanya menawarkan peralatan dan jasa cetak (termasuk fotokopi), namun juga menjadi spesialis layanan informasi terpadu dengan pendapatan US$ 22 miliar, dari sebelumnya yang ‘hanya’ US$ 16 miliar.  

Akuisisi itu berhasil menjejakkan kaki Xerox di industri jasa komputer yang pergerakan uang di industrinya mencapai lebih dari US$ 500 miliar (Rp 4.500 triliun) setiap tahunnya.

Kemampuan Ursula Burns  dalam memimpin perusahaan dianggap sejajar dengan kemampuan para CEO pria. Tidak mengherankan jika Burns dinobatkan oleh Forbes sebagai salah satu wanita paling berpengaruh di dunia, yaitu di posisi ke-20 pada tahun 2009, lantas peringkat ke-17 pada 2011 dan ke-14 pada 2012.

Selain bervisi besar, kesuksesan Burns dilandasi dengan tekad kuat plus kesediaan bekerja keras untuk mewujudkan ide-idenya. Baginya, sang ibu adalah orang yang berjasa dalam hidupnya. Tanpa ragu Burns mengatakan ibunya adalah orang yang pragmatis, fokus dan sangat praktis, dan sangat berdikari.

“Waktu kecil, kami memang miskin, akan tetapi kami tidak mengetahui mengenai hal tersebut. Kami sama sekali tidak tahu seberapa besar masalah yang dihadapi ibu kami untuk membesarkan kami bertiga, Saya hanya merasa bahwa ibu kami memiliki kekuatan ajaib karena Ia merupakan seseorang yang sangat luar biasa, ‘ujarnya saat berbicara pada YMCA Women Empowering Lunch di tahun 2009 mengenai masa kecilnya.

Dikatakan Burns, ibunya selalu memberikan kami kekuatan, kemauan dan cinta. “Saya masih dapat mengingat perkataannya, bahwa Saya bukanlah Saya yang sebenarnya. Jika Saya berada pada tempat yang buruk, hal tersebut hanyalah sementara dan hal tersebut tidak akan merubah inti dari apa yang dapat Saya berikan untuk dunia,” kenangnya.

Beruntung suaminya jauh lebih tua
Selain cinta yang tulus dari ibunya, Burns juga mengakui, rahasia dari keberhasilannya juga karena menikah dengan seorang pria 20 tahun lebih tua daripadanya. Suami Burns, Lloyd Bean, juga bekerja untuk Xerox sebagai ilmuwan dan peneliti.

Burns melihat suaminya sebagai keuntungan bagi kehidupannya, sebagaimana yang dikatakannya pada The Wall Street Journal. Saat itu, ia mengatakan, sosok orang yang ambisius dan mandiri, baik pria dan wanita, memang tepat jika memiliki pasangan yang lebih tua.

Menurutnyta, pria yang lebih tua secara biologis menjadi sandaran bagi wanita ambisius untuk menjadi teman bertukar pikiran. Pria yang lebih tua juga lebih terikat secara emosional kepada pasangan mereka karena testosteron mulai menurun setelah usia 40 tahun, sedangkan kadar kemesraan mereka tetap stabil.

”Saya sangat tertarik untuk sukses dan memiliki pasangan yang jauh lebih tua dari saya untuk menciptakan pandangan yang sama dalam sebuah kehidupan dan kesuksesan yang ingin diraih,” ujar peraih Master of Science dari  Columbia University ini.

”Optimalkan hidup Anda untuk menemukan keseimbangan. Anda harus memiliki keseimbangan di mana pun dan kapan pun, tidak dalam jangka waktu sehari, sebulan, atau satu tahun saja demi sebuah kehidupan perempuan yang sukses,” pesan Burns kepada para wanita muda yang punya ambisi di dunia karier seperti dikutip dari the Wall Street Journal. Yanuar Jatnika/Berbagai sumber/Dimuat di Harian Umum Jurnal Nasional, edisi Rabu (8 Januari 2014)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shinta W Dhanuwardoyo: Sang Srikandi Dunia Maya

Ketika Shinta Witoyo Dhanuwardoyo memutuskan menjadi pengusaha di ranah industri digital 18 tahun lalu, Indonesia terbilang masih awam dengan internet. Namun, naluri membimbingnya dengan jitu. Setelah jatuh bangun belasan tahun, Shinta kini berupaya mengerek Indonesia sebagai pemain dalam peta global industri digital. Tahun 2009 lalu, Shinta masuk dalam 99 Most Powerful Women 2009 versi Majalah Globe Asia Selepas tengah hari di kantor Bubu.com di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Shinta muncul di ruang tamu dengan perbawanya yang anggun. Rangkapan atasan longgar yang dikenakannya berayun mengikuti gerak tubuhnya. Sinar wajah Shinta yang sedikit melankolik tertangkap di awal pertemuan. Namun, rona melankolik itu sontak berubah jauh lebih bersemangat ketika dirinya mulai menerangkan soal industri digital. Cara bicaranya teratur, dengan tempo sedang, dan sarat kepercayaan diri. Selepas lulus sebagai sarjana arsitektur, Shinta mengajukan diri kepada ayahnya, Edi Witoyo

Ridwan Jasin Zachrie: Segala Sesuatu Mesti Good Governance

KALAU ingin sukses dalam berkarir dan dalam kehidupan, bersikaplah dinamis, Jangan pasif dan statis. Jangan pernah berhenti berkarya dan belajar serta jangan ragu untuk berbuat hal positif. Prinsip hidup itulah yang mungkin membawa Ridwan Jasin Zachrie sukses menduduki berbagai jabatan puncak di beberapa perusahaan yang berbeda sektor bisnisnya. Sejumlah sektor bisnis pernah digeluti oleh pria pelontos ini, bahkan sempat menjadi diplomat. Pria kelahiran Jakarta, 27 April 1969 ini juga merupakan salah satu pengibar bendera Recapital. Ridwan sempat menduduki jabatan penting di Recapital Group, perusahaan investasi yang dimiliki pengusaha muda Sandiaga Salahuddin Uno dan Rosan P Roslani. Ridwan pernah menjadi komisaris di PT Asuransi Jiwa Recapital (2007-2011), hingga menjadi managing director di PT Recapital Advisors - Recapital Group (2006-2011). Sejak 2008, dia pun dipercaya menjadi salah satu komisaris di PT Recapital Securities. Ridwan juga sempat dipercaya menj

Hirotada Ototake: Tak Perlu Lahir Normal untuk Bahagia

Awal April 2016 lalu, sebuah harian di Jepang memberitakan, Hirotada Ototake siap mengikuti pemilihan anggota parlemen Jepang dari Partai Demokrat-Liberal yang berkuasa saat ini di Jepang. Bila terpilih, Ototake menjadi penyandang disabilitas pertama yang jadi anggota parlemen Jepang.  Ototake memang penyandang disabilitas. Lelaki kelahiran Shinjuku, Tokyo, Jepang, pada  6 April 1976 itu, sejak lahir mengidap Tetra Amelia Syndrome, yakni kelainan bawaan yang langka yang membuat pengidapnya tak mempunyai lengan dan kaki. Walaupun begitu, secara kapabilitas, Ototake sangat pantas masuk jadi anggota parlemen. Dalam 15 tahun terakhir ini, Ototake sukses mengukir  prestasi sebagai penyiar televisi, wartawan olahraga, penulis buku, dan motivator. Tahun 1998 lalu, ia menulis buku autobigrafi yang menceritakan tentang bagaimana perjalanan hidupnya yang tanpa lengan dan kaki mampu menjalani kehidupan normal, menjalani pendidikan di sekolah-sekolah favorit dan lantas meniti k