Yassaroh. Itulah nama yang diberikan pasangan
suami istri Miftahuddin (54 th) dan Marmina ( 51 th) terhadap putri sulungnya
itu. Nama itu terkesan sederhana, namun jalan hidup wanita kelahiran tahun 1991
itu tidak sederhana, bahkan bisa dikatakan amazing, mengesankan.
Lulus SMAN 1 Pare-pare tahun 2009, Yassaroh
diterima di Fakultas MIPA Jurusan Kimia Bilingual Universitas Negeri
Makassar (UNM). Lulus dalam waktu 3,5 tahun dengan IPK 3,92, Yassaroh
melanjutkan pendidikan S2 nya di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2013
dengan beasiswa dari Ditjen Dikti (Waktu itu). Iapun lulus dengan IPK 3,77. Tak
berhenti di gelar S2, melalui beasiswa LPDP, Yassaroh kembali meraih gelar
doktor bidang kimia di Faculty of Science and Engineering Universitas Groningen, Belanda. Meraih gelar S3, Yassaroh mencoba merintis karir sebagai peneliti di universitas yang sama.
Wanita cantik itu bukanlah berasal dari keluarga
berkecukupan. Miftahuddin hanyalah seorang penjual siomay keliling dan istrinya,
Marmina, buka jongko gado-gado dan bakso di teras rumah kontrakannya di Jalan
Ahmad Yani, Kelurahan Ujung Bulu Kecamatan Ujung, Kota Pare-Pare, Sulawesi
Selatan. Kota yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Makassar, ibukota
Sulsel, ini dikenal sebagai kota kelahiran Presiden RI ke-3, Prof. DR. Ing. BJ.
Habibie.
Miftahuddin mengatakan, kuncinya hanyalah niat yang tulus dan percaya bahwa
Allah SWT akan membantunya serta manajemen keuangan keluarga berupa gali lobang
tutup lobang, melakukan penghematan besar-besaran
Sedangkan Marmina mengakui, selain kerja keras
dan bermanuver keuangan, ia juga sering puasa Senin dan Kamis serta pernah
puasa Nabi Daud.
Mendidik
karakter
Add caption |
Mendidik
kemandirian, kejujuran, dan ringan tangan merupakan kunci bagi Miftahuddin dan
istrinya Marmina dalam mampu membentuk anak-anaknya menjadi pribadi yang
mandiri, jujur, dan siap hidup dimana saja.
Miftahuddin bercerita, waktu di SMP, Yassaroh
minta hape dengan alasan untuk alat komunikasi dengan guru dan
teman-temannya. Miftahuddin mengaku, saat itu memang punya uang kalau sekedar
beli hape second, tapi ia minta Yassaroh menabung dari uang
jajan. “ Menabunglah ia, beruntung ia ikut lomba berpidato dalam bahasa
Inggris, dan menang, dapat hadiah Rp 600 ribu. Saya tambahan sedikit untuk beli
hape bekas. Saya ingat, butuh waktu enam bulan bagi Yassaroh untuk
memperoleh hape itu, “kenang Miftahuddin.
Menurutnya, hal itu ia lakukan untuk mendidik
kemandirian pada Yassaroh, yakni memenuhi kebutuhan sendiri dengan uang
sendiri.
Dalam hal mendidik kejujuran, Miftahuddin dan
Marmina memberi kepercayaan pada anak-anaknya untuk mengambil sendiri uang di
laci hasil dagang bila membutuhkan. “Saya katakan, kalau ngambil Rp5000, bilang
Rp 5000. Ibu dan Bapak tidak melihat, tapi Allah maha melihat, “ujarnya.
Miftahuddin juga mengingatkan dengan tegas pada
Yassaroh dan Ulil untuk jangan sekali-kali mencuri atau mengakali
teman-temannya bila kehabisan uang di Makasar. Miftahuddin lebih suka bila
anak-anaknya terus terang bila kehabisan uang. “Saya mengatakan itu,
sebab teman-temannya Ulil dan Yassaroh sering kehilangan barang atau uang di
asramanya atau di tempat kosnya, “katanya.
Miftahuddin juga mengingatkan anak-anaknya untuk
memilih-milih dalam bergaul. Istilahnya, kalau bergaul dengan yang
wangi-wangi, kita dapat wanginya, kalau bergaul dengan minyak tanah, kita juga
dapat bau minyaknya. Miftahuddin dan Marmina juga mengajarkan
anak-anaknya untuk selalu membantu siapa saja sesuai kemampuan.
Tidak cerdas
Menurut
Marmina, Yassaroh sebenarnya bukan termasuk anak yang cerdas, tapi mempunyai
motivasi dan kemauan yang tinggi untuk berhasil dalam suatu pekerjaan. Namun, Marmina juga menerapkan aturan yang ketat
soal pendidikan tiga orang anaknya. Dulu, saat semua anak-anaknya masih
ngumpul, setiap Maghrib, televisi dimatikan sampai pukul 8 . Usai Sholat
Maghrib, ngaji sekitar 1-2 halaman Al Quran, dan dilanjutkan belajar sampai
Pukul 8. Setelah itu, televisi kembali dinyalakan.
Satu hal lagi yang juga sangat diutamakan
Miftahuddin dan Marmina pada ketiga anaknya adalah bahasa Inggris.
Keduanya menyadari, bahwa untuk menunjang keberhasilan dalam pendidikan dan
pekerjaan, kemampuan bahasa Inggris mutlak diperlukan. Yanuar
Jatnika
Komentar
Posting Komentar